Apakah kalian percaya bahwa setiap kita memiliki niat
baik dalam perjalanan, niscaya perjalanan kalian diberkati, dilancarkan,
dimudahkan?
Saya percaya.
Itu modal saya untuk ketika bepergian ke tempat asing.
Percaya saja semua akan baik-baik saja. Walaupun kadang kita mengalami
kebalikannya, tak selamanya hal buruk itu buruk kan?
Beberapa waktu lalu, saya menjelajah beberapa daerah
di Pulau Flores dan mendatangi satu tempat yang ingin saya kunjungi yaitu
Kampung Adat Bena. Kampung yang tersohor dengan bebatuan megalitikum dan
terkenal juga sebagai penghasil kopi terbaik di Flores, kopi Bajawa.
Pagi itu saya sedang dalam perjalanan dari Riung
menuju ke Ruteng, tempat terakhir sebelum saya trekking ke Wae Rebo keesokannya. Saya harus menempuh perjalanan
selama empat jam dari Riung ke Bajawa dengan naik mobil travel. Rencananya, dari
Bajawa, saya akan melanjutkan perjalanan ke Ruteng.
Jalan menuju Bena dari Bajawa. |
Bang Dus, supir travel Riung - Bajawa yang saya tumpangi
tadi pagi menanyakan tujuan saya di Flores. Begitu saya bercerita ingin ke
Kampung Bena, dia langsung antusias bercerita bahwa dia punya sanak keluarga
yang sudah lama tidak dikunjungi. Bang
Dus lalu bertanya apakah aku mau diantarkan ke Kampung Bena sambil dia
berkunjung ke keluarganya? Tentu saja boleh Bang! Dengan sangat senang hati.
Perjalanan dari Bajawa menuju Bena melewati
hutan-hutan dengan Gunung Inerie mengintip di kejauhan terasa menyenangkan.
Angan-angan saya terbang membayangkan berdiri di puncak Gunung Inerie yang
begitu cantik, gunung Ibu, gunung pelindung Bajawa. Suatu hari nanti ya, satu
waktu ya Ibu Inerie, kita pasti bersua.
Gunung Inerie yang cantik sekalie... |
Bang Dus memarkirkan mobilnya dan mengajak saya
berjalan kaki menuju pintu masuk kampung Bena. Kampung ini memanjang dari utara
ke selatan. Pintu masuk ada di sebelah utara karena di bagian selatan adalah
tebing terjal yang tidak bisa dilewati.
Pintu masuk ke Kampung Bena |
Ciri khas dari Kampung Bena ini adalah Nga’du dan Bhaga, dua bangunan simbol leluhur Kampung Bena yang ada di
pekarangan. Nga’du yang berbentuk
payung adalah simbol leluhur laki-laki dan Bhaga
yang berbentuk rumah kecil adalah simbol leluhur perempuan.
Setelah mengisi daftar buku tamu dan memberi sumbangan
sekedarnya (tidak ada biaya tiket masuk resmi), Bang Dus dan saya berjalan
terus ke selatan dan berhenti di depan rumah paling pojok sebelah kanan. Tampak
seorang Ibu tua yang sedang menenun di teras rumah tersenyum lebar menyambut
Bang Dus dan memanggil anak gadisnya yang ada di dalam.
Sebelum masuk kampung, isi buku tamu dulu dan beri sumbangan seikhlasnya... |
Saya lepaskan sepatu dan menyalami Mama Yuli dan anak
gadisnya, Kak Vina. Saya dipersilahkan duduk di teras rumah dan tak lama
kemudian terhidang empat gelas kopi Bajawa untuk saya, Bang Dus serta Papa
Paulus dan Bang Poli yang baru keluar dari rumah dan ikut bergabung duduk di
teras.
Awalnya saya kikuk karena mereka bercakap-cakap dengan
bahasa lokal. Saya seruput kopi Bajawa yang wangi itu sambil tersenyum-senyum
memerhatikan mereka.
Tahu-tahu Mama Yuli memanggilku untuk mendekat dan
memberikan setangkup sirih untuk aku makan.
“Air kunyahan pertamanya dibuang ya. Baru setelahnya
boleh kamu makan” ujar Mama dalam bahasa lokal yang diterjemahkan Bang Dus.
Ah, saya suka sekali dengan sirih. Mirip dengan beberapa
daerah di Indonesia, pemberian sirih merupakan pernghormatan sang empunya rumah
kepada tamu dan begitu juga sebaliknya. Saya merasa diterima dengan hangat
sekali.
Jika kamu tidak suka sirih, kunyah saja, telan sedikit
demi sedikit lalu dibuang. Tak harus berlama-lama, yang penting kita sudah
menunjukkan rasa hormat kepada tuan rumah. Kalau saya sih, ngunyah terus sampai
gigi berubah warna jadi merah.
Kampung Bena terletak di kaki Gunung Inerie (2.245
mdpl) sehingga udaranya sejuk meski matahari tepat di atas kepala. Udara yang
sejuk itu juga yang membuat penduduk Kampung Bena, terutama Ibu-Ibu, senang
menghabiskan duduk di teras, entah itu menenun atau memintal benang. Sedangkan
para Bapak biasanya bekerja ke ladang.
Coba tebak ini biji apa? |
Benang yang akan dipakai untuk menenun. |
Nenek dan cucu bercengkerama di teras rumah. |
Penduduk di Kampung Bena juga percaya kepada Dewa
Zeta, dewa pelindung desa yang berdiam di Gunung Inerie. Itulah mengapa mereka
sangat menghormati gunung ini dan para leluhurnya.
Yang juga membuat saya tertarik dengan Kampung Bena
adalah batu-batu megalitikum dan ‘Batu
Nabe’. Batu Nabe adalah tumpukan batu-batu
dimana terdapat makam para leluhur Kampung Bena di bawahnya. Di kompleks
‘Batu Nabe’ inilah sesaji diletakkan saat ingin berkomunikasi dengan leluhur
saat upacara adat.
Ada sekitar 45 rumah yang ada di Kampung Bena dengan
ciri khas masing-masing di bagian depan rumah. Ciri khasnya adalah tanduk
kerbau, rahang dan taring babi sebagai lambang status sosial keluarga. Rumah
yang ada patung yang memegang parang dan lembing di atapnya adalah rumah lelaki
dinamakan ‘Sakalobo’. Sedangkan rumah
perempuan dinamakan ‘Sakapu’u’.
“Di Bena ada sembilan suku, Khopa, Ago, Ngada, Deru
Solamae, Deru Lalulewa, Wahto, Dizi dan Dizi Azi. Kami semua hidup berdampingan
dengan damai di sini” ujar Papa Paulus masih dengan bahasa lokal yang
diterjemahkan Bang Dus. Keluarga Papa Paulus sendiri berasal dari suku Ago.
Sembilan suku yang mendiami Kampung Bena memiliki
rumah masing-masing dan berbeda-beda tingkatannya. Oleh karena itu ada sembilan
tingkatan dari utara ke selatan dan juga sembilan pasang Nga’du dan Bhaga.
Setiap ada upacara adat satu suku, suku-suku yang lain
dengan senang hati membantu dan ikut bersuka ria. ‘Kisanatapat’ adalah nama tempat untuk mengadakan upacara adat di
Kampung Bena.
Sambil masih menikmati kopi di teras rumah, Papa
Paulus dan Bang Poli bercerita tentang pengalaman mereka berkali-kali
menginjakkan kaki di puncak Gunung Inerie.
“Bagus sekali melihat matahari terbit dari atas sana.
Satya nanti harus kembali kesini dan kita naik sama-sama” ujar Bang Poli.
Tentu saja tawaran itu saya sambut dengan riang. Saya
berjanji kembali lagi ke Kampung Bena dan melihat matahari terbit dari puncak
Inerie.
Sambil mengobrol, Mama Yuli masih asyik dengan kain
tenun yang sedang dikerjakan. Beliau bercerita tentang motif tenun yang khas
dari Bena yaitu Nga’du, Bhaga, gunung
dan kuda. Motif-motif ini dikreasikan dengan benang warna-warni dan jadilah
kain tenun Bena yang cantik.
Kak Vina, saya, Mama Yuli |
Bang Poli, Bang Dus dan Papa Paulus |
Kain-kain tenun cantik ini dipajang di teras rumah,
digantung di bilah-bilah bambu. Jadi ketika ada wisatawan melintas dan
tertarik, bisa langsung melakukan transaksi dengan si empunya rumah, empunya
tenun.
Harga yang ditawarkan cukup bersahabat di kantong.
Untuk satu lembar kain tenun berukuran besar sekitar Rp. 300.000,- hingga
jutaan rupiah. Untuk kain tenun berukuran kecil, kisaran harganya Rp 75.000,-
hingga Rp 200.000,-.
Menenun menjadi aktivitas sehari-hari wanita di Kampung Bena. |
Saya sebenarnya tertarik dengan semua tenun-tenun ikat
itu. Ingin sekali beli semuanya.
Sayangnya…
Saya nggak punya duit…
Uang yang saya bawa sudah pas sekali untuk transportasi
dan akomodasi trip Wae Rebo beberapa hari ke depan. Maklum, saya memang tipe
orang yang jalan dengan budget minim
dan sebisa mungkin nggak belanja oleh-oleh macam-macam. Selain karena tasnya
gak muat nampung oleh-oleh, duitnya nggak ada. Mau bilang apa? Hahahaha…
Saya minta izin sebentar untuk berkeliling Kampung
Bena sambil Bang Dus bercengkerama asyik dengan keluarganya. Saya pergi ke
tingkat paling atas di Kampung Bena dan menemukan gua kecil berisi patung Bunda
Maria. Tempat ini adalah tempat berdoa bagi masyarakat Bena yang seluruhnya
beragama Katolik. Saya salut bahwa sudah memeluk agama yang diakui Negara,
masyarakat di Bena tetap memegang teguh adat dan tradisi dari leluhur mereka.
Goa Maria yang ada di puncak Kampung Bena. |
Dari atas, kita bisa melihat jelas seluruh rumah-rumah
di Kampung Bena dan lembahan kaki Gunung Inerie dengan puncak kerucutnya yang
menggoda.
Setelah mengambil beberapa potret kampung, saya
kembali ke rumah dan bertemu 3 anak kecil yang tersenyum malu-malu melihat saya
tapi meminta gula-gula (permen). Saya memang selalu membawa permen di dalam tas
dan saya berikan kepada mereka. Tidak banyak-banyak kok. Wajah mereka bertiga
yang tadi malu-malu berubah menjadi ceria dan mengulum permen dengan bahagia.
![]() |
Anak-anak lucu Kampung Bena. Cium kangen buat kalian :* |
Saat masih asyik bermain bersama tiga anak kecil lucu,
Nancy, Viola dan Lalon, saya dipanggil oleh Bang Dus dan mengingatkan agar kami
segera kembali ke Bajawa agar tidak ketinggalan travel ke Ruteng.
Saya menyalami Papa Paulus dan Mama Yuli yang dibalas
dengan kecupan di pipi kanan dan kiri.
“Mulai sekarang, rumah ini rumahnya Satya juga. Datang
lagi ke sini ya Nak” ucap Mama Yuli.
Janji Ma, saya pasti kembali lagi.
See you
when I see you, Bena…
---
Cantiknya Gunung Inirie, kapan2 kalau kesana lagi harus nanjak itu gunung.
ReplyDeleteTahun ini aku janji akan nanjak Gunung itu Git! Yuk ;)
DeleteMudah2an bisa mampir
ReplyDeleteIya mampir dong Ai. Menarik sekali kampungnya :)
DeleteDah ke Bena tapi tau cerita n makna dri simbol2 dirumah adatnya malah dari Satya..
ReplyDeleteJdi malu diriku..
Hahhahha
Dah ke Bena tapi tau cerita n makna dri simbol2 dirumah adatnya malah dari Satya..
ReplyDeleteJdi malu diriku..
Hahhahha
Nanti kita ke sana lagi ya Kak ;)
Deletekalo ke flores lagi mampir di kampungku mba, kampung Jopu di kaki Gunung Kelimutu ... sekalian nginap dirumah orangtuaku
ReplyDeleteHai Kak Emanuel, maaf ya baru balas sekarang. Ah terima kasih rekomendasinya, semoga bisa ke Kampung Joppu ya ;)
Deletebisa menginap di kampung bena ndak ?
ReplyDeleteHai Surya... Bisa kok menginap di Kampung Bena. Kamu tinggal berbicara dengan penduduk di sana ya... Lakukan pendekatan yang baik dan sopan dan kamu akan diterima seperti bagian dari keluarga mereka ;)
Delete