![]() |
Photo by : Barry Kusuma |
“Awas Kak, jangan dekat-dekat kuda itu. Baru minum itu”
teriak seorang pemuda kepada saya.
Saat itu kami baru saja tiba di stadion Bima untuk
melihat pacuan kuda khas Bima / Dompu yang lebih sering disebut Pacoa Jara oleh Dou Mbojo (orang Bima). Begitu turun dari mobil, saya mendekati salah
satu kuda karena penasaran. Biasanya kuda kan cuma dililitkan tali di leher dan
diikat ke pohon, tetapi kuda yang saya lihat ini mulutnya diikat dan talinya
disangkutkan tinggi di atas ranting pohon.
Kuda yang diikat ke pohon sambil menunggu giliran berpacu |
“Kudanya diikat begitu biar urat, otot perut dan
lehernya kencang, Kak. Kudanya liar sekali kalau baru minum. Jangan dekat-dekat
nanti kakak ditendang ” kata si pemuda lokal dari Bima itu yang saya tahu
namanya Ilham setelah berkenalan.
Saya penasaran, kudanya habis minum apa sih?
Berdasarkan hasil ngobrol-ngobrol saya dengan Ilham,
kuda-kuda yang akan bertanding di Pacoa Jara
biasanya diberikan ramuan khusus agar mereka “panas”. Katanya itu semacam
doping untuk kuda agar larinya kencang sekali. Namun kita harus hati-hati
karena jika baru minum, kuda akan menjadi hiperaktif dan bisa menyerang orang kalau
tidak diikat dan dipegang dengan kuat.
Kuda-kuda yang diikat di pohon itu sedang menunggu
giliran untuk masuk ke stadion. Terdengar dialog dua komentator yang lucu lewat
pengeras suara. Sambil menunggu ronde berikutnya mulai, mereka menghibur
pengunjung stadion dengan bernyanyi dangdut. Saya terkikik geli mendengar suara
mereka yang cempreng menyanyikan lagu dangdut diiringi musik yang berasal dari
lagu mp3 di handphone ditempelkan di mic. They
are the real entertainer yes…
Tempat komentator pacuan. Itu Bapak berdua kocak banget! |
Saya masuk ke dalam stadion dan melihat banyak sekali
orang memadati stadion yang tidak seberapa besar itu. Untuk arena pacuannya
kira-kira seluas lapangan bola. Yang tidak kebagian bangku stadion memilih
untuk menonton pacuan dari tembok. Mereka sudah menyiapkan tangga sendiri untuk
memanjat dan anteng banget nongkrong
di tembok.
Tempat persiapan pacuan. Banyak yang asyik menonton dari balik tembok tuh |
“Permisi Kak, itu kuda mau lewat dulu ya. Jangan
dekat-dekat kuda”, kata Bapak penjaga gerbang.
Saya meminggirkan badan dan membiarkan kuda-kuda itu
lewat. Masing-masing kuda digiring oleh satu orang pawang yang terlihat
kesusahan untuk meredam kuda agar tetap diam. Setelah seluruh kuda lewat,
barulah kami dipersilahkan masuk.
Kuda yangs sedang digiring menuju area pacuan oleh pawang |
Kuda yang masih "panas" harus diajak jalan-jalan dulu |
Senangnya, rombongan kami diberi akses khusus untuk
masuk ke arena persiapan pacuan dan boleh melihat pacuan dari jarak dekat.
Satu yang membuat pacuan ini unik dan tidak ditemukan
di daerah lain adalah jokinya atau juki
dalam bahasa lokalnya. Juki Pacoa Jara
adalah anak-anak berumur 4-10 tahun. Ya ampun mereka masih kecil-kecil banget.
Umur segitu saya sih senangnya main karet, layangan atau manjat pohon, bukan
menunggang kuda. Ikut pacuan pula. Ngeri…
Juki-juki cilik ini digendong oleh Bapaknya memasuki
lapangan. Kostum juki biasanya celana panjang, kaos, kaos kaki bola yang
dipotong dan dipakai di bagian tulang kering kaki, kupluk yang dibolongi
sendiri untuk penutup wajah dan helm plastik tanpa label SNI.
Juki-juki cilik |
Kostum pacuan mereka. Nggak ada pengaman yang benar-benar aman |
Nggak ada pengaman tubuh yang benar-benar aman,
dikenakan di tubuh mereka. Jatuh, patah tulang, robek, benturan keras di kepala
sudah jadi lumrah, hal yang biasa. Mereka bahkan tidak menggunakan pelana
ketika mengendarai kuda. Sebagai pengganti pelana, agar tidak licin, ditaburkan
pasir di atas kuda baru si juki didudukkan.
Sebelum pacuan dimulai, juki cilik ini menunggu sambil
bergantungan di bilik besi sementara kuda-kuda pacuan itu ditenangkan oleh
pawangnya.
Menunggu pacuan dimulai di dalam bilik besi |
Ketika sudah mendekati waktu pacuan dimulai, kuda akan
dimasukkan ke dalam bilik besi itu, ditaburi pasir, mendudukkan juki ke atas
kuda sambil ditunggangi bapaknya.
Eh kok ditunggangi sama Bapaknya juga?
Ketika ditunggangi juga sama bapaknya, kudanya jadi lebih liar. |
Iya, untuk menjaga agar kudanya tetap tenang dalam
bilik besi itu, harus ada orang dewasa yang memegang kudanya. Saya sempat
berdiri di dekat mereka dan mendengar si Bapak berbicara entah kepada si anak
atau si kuda dalam bahasa lokal. Semacam wejangan sebelum perlombaan gitu kali
ya.
Op op op op
op….
Op op op op
op….
Op op op op
op…
Bunyi itu terdengar dari bilik besi. Biasanya kan
kalau dibilang op op op op artinya
stop. Di Pacoa Jara, op op op op itu
artinya pacuan akan segera dimulai. Unik banget. Hahahaha…
Kami menunggu di pinggir pagar pembatas dengan kamera
yang sudah siap menangkap momen pacoa
jara.
*bruaaaaak*
Pintu bilik besi dibuka dan semua kuda lari
sekencang-kencangnya. Saya terpana melihat juki bisa mengikuti ritme lari kuda
dan tidak terjatuh. Ada bermacam-macam gaya selama mereka berpacu. Ada juki yang
memeluk erat leher kudanya, ada yang memakai satu cambuk dan ada yang memakai
dua cambuk sekaligus.
Yang memakai dua cambuk sekaligus berarti tidak
memegang kudanya sama sekali. Gila keren banget! Jangan ditanya lagi, juki
dengan dua cambuk itu pasti keluar menjadi juara. Begitu mereka memasuki garis finish, mereka akan digendong lagi oleh
Bapaknya dan kudanya langsung digiring oleh pawangnya.
Saya dan teman-teman kemudian terkikik lagi begitu
mendengar komentatornya mengumumkan siapa yang menjadi juara pacuan. Rata-rata
namanya adalah nama perempuan. Saya merasa sudah pernah mendengar nama itu di
awal, tetapi saya mengira komentatornya sedang memanggil orang. Ternyata itu
adalah nama kudanya. Hahaha…
Yang memenangkan kejuaraan penyisihan hari itu adalah
kuda betina bernama Putri Ayu. Duh, cantik sekali namanya. Katanya si Putri Ayu
ini sudah sering memenangkan pacuan.
“Taruhan untuk si Putri Ayu ini selalu tinggi setiap
pacuan. Sampai berjuta-juta itu mereka kasih untuk taruhan” kata Ilham
Sepertinya di belahan dunia manapun, pacuan kuda
selalu ada taruhannya ya.
Sempat sih saya membahas dengan seorang teman apakah Pacoa Jara ini adalah salah satu bentuk eksploitasi anak? Tidak jarang lho anak-anak ini cedera patah tulang
atau robek bagian tubuhnya karena terjatuh dari kuda. Namun cukup dibawa ke mantri
atau rumah sakit, diobati dan besoknya sudah berpacu lagi.
“Nggak bisa dibilang eskploitasi anak juga sih Sat,
karena ini adalah tradisi mereka yang sudah mereka lakukan dari zaman dulu.
Turun temurun dari nenek moyang. Kita
tidak bisa mengkritisi budaya. Susah.” ujar salah seorang temanku.
Ya memang sih anak-anak itu juga tidak protes. Malahan
senang. Buat mereka, menjadi juki
adalah sesuatu yang membanggakan. Apalagi kalau mereka jadi pemenang, mereka
bisa membantu keuangan keluarga. Para juki
ini dilatih menjadi lelaki tangguh dari kecil. Ya, mereka adalah kebanggaan orang
tua, terutama Bapaknya. Memiliki anak laki-laki di Bima berarti memiliki aset berharga.
Seusai pertandingan saya mengajak salah satu juki yang
bernama Sona. Umurnya 10 tahun walaupun tidak tergambar dari ukuran tubuhnya yang
mungil seperti anak kelas 2 atau 3 SD. Agar bisa berkomunikasi baik dan jelas
dengan Sona, saya dibantu oleh Ilham yang menjadi penerjemah bahasa.
Saya dan Sona yang ganteeengggg <3 |
“Sona sudah berapa lama jadi Juki, dari umur berapa
naik kuda?” tanyaku
“Sudah dari umur 3 tahun naik kuda, diajar sama Bapak.
Ikut pacuan sejak umur 5 tahun” jawab Sona
“Wah, kamu masih kecil sekali waktu belajar naik kuda.
Tidak takutkah kamu?” tanyaku lagi
“Pertamanya takut tapi karena diajarin dan ditemani
Bapak, lama-lama sudah tidak takut lagi” jawabnya polos
“Sona pernah jatuh tidak dari kuda? Pernah luka? Kalau
luka diobatinnya gimana?” tanyaku
“Pernah. Sakit sekali. Tapi nanti diobati sama
temannya Bapak dan sembuh. Pernah juga dibawa ke dokter untuk dijahit tapi saya
tidak suka rumah sakit” ujarnya sambil menunjukkan bekas-bekas jahitan di
kepalanya yang banyak sekali.
Saya juga pernah dijahit di tangan dan tahu rasa
sakitnya seperti apa namun tidak tega membayangkan punya bekas jahitan hingga puluhan di tubuh
seperti Sona.
“Sona sudah pernah jadi juara? Dapat hadiah apa?”
tanyaku lagi
“Dulu jadi juara dan dapat sepeda motor, dikasih ke
Bapak. Pernah dapat sapi dan uang. Semuanya dikasih juga ke Bapak” ujar Sona
Karena rupanya yang tampan, saya senang sekali dengan
Sona. Saya sudah tertarik dan memperhatikan dia saat pacuan kuda akan dimulai
hingga pacuan selesai. Saat itu dia kurang beruntung dan tidak keluar jadi
juara. Walau tak jadi juara, saya beri dia hadiah kecil yaitu sebatang coklat. Senang
sekali melihat raut mukanya yang sumringah dan saya lebih senang lagi ketika
dia memanggil teman-temannya untuk membagikan coklat yang saya kasih. Aduh
Sonaaaa….
Juki-Juki cilik, Yan, Sona, Idam, Iman |
Biasanya setelah pertandingan selesai, kuda-kuda ini
akan dimandikan di laut. Sayangnya saya baru tahu kalau kuda-kuda tersebut baru
selesai mandi ketika melihat serombongan orang menggiring kuda yang basah dan
licin bulunya. Yah, padahal saya ingin lihat kayak apa kuda dimandiin di laut.
Ini berarti saya harus datang lagi untuk melihat Pacoa
Jara dan kuda-kuda itu dimandikan di laut. Jika kalian ingin melihat acara ini,
silahkan datang bulan April saat Ulang Tahun Kota Bima (kemarin bertepatan juga
dengan Festival Tambora Menyapa Dunia) atau bulan Juli (kadang Agustus) saat peringatan
Hari Bhayangkara. Silahkan catat di kalender ya.
Yang jelas, kalau datang kesana cukup nonton pacuannya aja ya. Jangan coba-coba nunggangin kudanya. Beda! Kudanya bukan kuda wisata di Bromo atau Taman Bunga Cipanas :p
*tulisan ini adalah salah satu cerita dari rangkaian perjalanan "Pesona Tambora" yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia
Kecil kecil cabe rawit! Masih kecil tapi pada jago naik kuda~ aku pun nggak berani kalau disuruh naik kuda yang udah di dopping gitu :D
ReplyDeleteJangankan naik kudanya Mi. Deket-deket kudanya aja nggak berani, takut ditendang xD
Deletewidihh kaceh sekali mbak :) mantep dahhh
ReplyDeleteHalo Lia, makasih sudah mampir yaaa. Iya mantep banget. Apalagi kalau lihat langsung. Riuhh...
DeleteTebakan gw sech kudanya di kasih bir item macam angker bir trus di oplos sama kratingdaeng hahaha
ReplyDeleteItu kayaknya resep kamu ya Kak biar jadi liar :p
DeleteSaya menonton Pacoa Jara ini tanggal 5 April kemarin, kak Satya. Bulu kuduk saya bergidik ketika melihat dari dekat persaingan sengit sebelum garis finish, dimana para joki tidak berpegangan sama sekali karena kedua tangannya bergantian mencambuk kudanya.
ReplyDeleteSaya cemburu dengan kamu, karena dapat akses masuk ke daerah persiapan dan melihat boxstart dari dekat, saya tidak bisa masuk walaupun sudah melakukan negosiasi dengan aparat penjangannya dengan ngaku-ngaku travel blogger yang mau ambil foto. huhuhuhu.
Tapi sayang saya belum sempat menuliskan catatan perjalanan menonton Pacoa Jara kemarin, tapi beberapa cerita perjalanan saya selama di NTB bisa dinikmati di langkahjauh.blogspot.com juga loh kak :)
Wih.. keren banget :D kayak pertandingan gladiator, penutup mukanya bermacam-macam :D haha... keliatan seru banget ya
ReplyDeleteBaru baca ini. Makin-makin pengen ke sana dan lihat mereka.
ReplyDeletewahh hebat, anak kecil pun pada bisa pacuan kuda..
ReplyDelete